SEARCH THIS PAGE

Rabu, 15 November 2017

TUGAS KELOMPOK NILAI KEHIDUPAN (VALUE OF LIFE)

           Berdasarkan tugas kelompok yang diberikan oleh dosen kami yaitu mencari 5 artikel tentang nilai kehidupan, kami mendapatkan 5 artikel ini beserta argumentatifnya.



Artikel 1 : Bai Fang Li, Tukang Becak Penyumbang Ratusan Juta untuk Yatim Piatu

Tak perlu menggembar-gemborkan sudah berapa banyak kita menyumbang orang karena mungkin belum sepadan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bai Fang Li. Kebanyakan dari kita menyumbang kalau sudah kelebihan uang. Jika hidup pas-pasan keinginan menyumbang hampir tak ada.
Bai Fang Li berbeda. Ia menjalani hidup sebagai tukang becak. Hidupnya sederhana karena memang hanya tukang becak. Namun semangatnya tinggi. Pergi pagi pulang malam mengayuh becak mencari penumpang yang bersedia menggunakan jasanya. Ia tinggal di gubuk sederhana di Tianjin, China.

Ia hampir tak pernah beli makanan karena makanan yang ia makan lebih banyak didapatkan dengan cara memulung. Begitupun pakaiannya. Apakah hasil membecaknya tak cukup untuk membeli makanan dan pakaian?
Pendapatannya cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup lebih layak. Namun ia lebih memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk menyumbang yayasan yatim piatu yang mengasuh 300-an anak tak mampu.
Kejadian yang Mulai Merubah Pandangan Hidupnya
Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun. Saat itu ia tak sengaja melihat seorang anak usia 6 tahunan yang sedang menawarkan jasa untuk membantu ibu-ibu mengangkat belanjaannya di pasar. Usai mengangkat barang belanjaan, ia mendapat upah dari para ibu yang tertolong jasanya.
Namun yang membuat Bai Fang Li heran, si anak memungut makanan di tempat sampah untuk makannya. Padahal ia bisa membeli makanan layak untuk mengisi perutnya. Ketika ditanya, ternyata si anak tak mau mengganggu uang hasil jerih payahnya itu untuk membeli makan.
Ia gunakan uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4 tahun di gubuk di mana mereka tinggal. Mereka hidup bertiga sebagai pemulung dan orangtuanya entah di mana. Bai Fang Li yang berkesempatan mengantar anak itu ke tempat tinggalnya tersentuh. Setelah itu ia membawa ketiga anak itu ke yayasan yatim piatu di mana di sana ada ratusan anak yang diasuh. Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara si anak, tak menggunakan uang hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan sehari-hari melainkan disumbangkan untuk yayasan yatim piatu tersebut.
Dalam Memberi, Bai Fang Li Tak Pernah Menuntut Apapun
Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya.
Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak 500 yuan atau setara dengan Rp 675.000.
Dengan uang sumbangan terakhir itu, total ia sudah menyumbang 350.000 yuan atau setara dengan Rp 472,5 juta. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya menyumbang ke yayasan tersebut. Tahun 2005, Bai Fang Li meninggal setelah terserang sakit kanker paru-paru. Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang luar biasa.
Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak beruntung. Meski hidup dari mengayuh becak (jika diukur jarak mengayuh becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi), ia punya kepedulian yang sangat tinggi kepada nasib orang lain yang lebih kurang beruntung dari dirinya.


Analisa 1 :
Nilai-nilai kehidupan yang kami tangkap dari artikel di atas adalah nilai sosial ,ekonomi,solidaritas, dan moral. Nilai sosial karena Bai Fang Li membantu sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Disebut nilai ekonomi karena adanya nilai jumlah uang yang diberikan oleh dia kepada yatim piatu dan membantu yatim piatu dalam segi ekonomi. Kalau nilai moral karena adanya kebaikan yang dilakukan Bai Fang Li yang membuat orang menilai segi positif nya dari bantuan yang diberikan dia kepada yatim piatu. Dan yang terakhir solidaritas karena adanya rasa solider dan nilai yang mendasari perbuatan orang terhadap orang lain tanpa menghiraukan akibat yang akan diterima dirinya sendiri .

Artikel 2 : Sopir Taksi Singapura Kembalikan Uang Rp 8,6 Miliar yang Tertinggal

Sumber | yahoo news 20 nov 2012

             Seorang sopir taksi Singapura dipuji sebagai pahlawan setelah ia mengembalikan uang senilai 1,1 juta dolar Singapura (sekitar Rp8,6 miliar) dalam bentuk tunai kepada pasangan Thailand yang sedang berlibur dan meninggalkan uang dalam taksinya.
             Sia Ka Tian (70) terkejut menemukan uang dalam kantong kertas hitam di kursi belakang pada Senin setelah ia menurunkan pasangan tersebut di sebuah pusat perbelanjaan. “Ketika saya melihat uang itu, saya pikir, ada masalah di sini. Saya yakin ada setidaknya 200.000 dolar (sekitar Rp1,5 miliar) dalam tas ini,” ungkap supir taksi senior yang sudah mengabdi 31 tahun itu yang dikutip Straits Times.
             Namun ketika ia membawa uang itu ke kantor perusahaan transportasi ComfortDelGro, rekannya yang merasa kaget menghitung bahwa jumlahnya sebesar 1,1 juta dolar Singapura (sekitar Rp8,6 miliar) dalam lembaran ribuan dolar. “Uang itu tidak penting bagi saya. Itu bukan milik saya, jadi bagaimana saya bisa menggunakannya?,” katanya kepada surat kabar tersebut.
             Pasangan Thailand tersebut melaporkan kehilangan kepada perusahaan transportasi itu dan Sia menunggu mereka ketika mereka datang untuk mengambil uang tersebut. Dia menerima hadiah uang tunai dengan jumlah yang dirahasiakan dari pasangan tersebut, yang tidak disebutkan namanya, dan pihak perusahaan juga berencana untuk memberikannya sebuah penghargaan atas layanan kinerjanya yang bagus.
             “Menemukan satu juta dolar dalam bentuk tunai bukanlah kejadian sehari-hari dan pada kenyataannya, kami yakin banyak orang akan tergoda” untuk mengambil uang itu, ujar juru bicara perusahaan tersebut. Tammy Tan kepada AFP. “Kami sangat bangga kepadanya dan merasa senang penumpang kami menemukan uangnya.” Itu merupakan benda paling berharga yang pernah dikembalikan oleh sopir taksi perusahaan tersebut.

Analisa 2 :
             Nilai yang terkandung dari artikel di atas adalah nilai moral,ekonomi, sosial, agama, solidaritas, logika,dan kebenaran. Betapa luar biasanya apa yang telah diperbuat oleh sopir taksi ini, sehingga menghasilkan begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa kita ambil. Karena artikel sebelum-nya telah menerapkan nilai moral, ekonomi, sosial, dan solidaritas, sekarang kami akan menjelaskan nilai-nilai lain yang bisa kita petik. Nilai agama karena adanya pikiran akan baik buruknya perbuatan yang dilakukannya sehingga ia melakukan perbuatan yang berlainan dengan dosa yaitu mengembalikan uang tersebut. Nilai logika karena penilaian sopir tersebut terhadap baik atau buruknya perbuatan yang harus ia perbuat. Nilai kebenaran karena ia telah memilih untuk mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya bahkan ia mendapat penghargaan karena itu.

Artikel 3 : Kisah Cinta Seorang Anak terhadap Ibunya

Seorang janda miskin Siu Lan punya anak umur 7 tahun bernama Lie Mei. Kemiskinan membuat Lie Mei harus membantu ibunya berjual kue dipasar, karena miskin Lie Mei tidak pernah bermanja-manja kepada ibunya.
             Pada suatu musim dingin saat selesai bikin kue, Siu Lan melihat keranjang kuenya sudah rusak dan Siu Lan berpesan pada Lie Mei untuk nunggu dirumah karena ia akan membeli keranjang baru.
             Saat pulang Siu Lan tidak menemukan Lie Mei dirumah. Siu Lan langsung sangat marah. Putrinya benar-benar tidak tau diri, hidup susah tapi masih juga pergi main-main, padahal tadi sudah dipesan agar menunggu rumah. Akhirnya Siu Lan pergi sendiri menjual kue dan sebagai hukuman pintu rumahnya dikunci dari luar agar Lie Mei tidak dapat masuk. Putrinya mesti diberi pelajaran, pikirnya geram.
             Sepulang dari jual kue Siu Lan menemukan Lie Mei, gadis kecil itu tergeletak didepan pintu. Siu Lan berlari memeluk Lie Mei yang membeku dan sudah tidak bernyawa. Jeritan Siu Lan memecah kebekuan salju saat itu. Ia menangis meraung2, tetapi Lie Mei tetap tidak bergerak. Dengan segera Siu Lan membopong Lie Mei masuk kerumah. Siu Lan mengguncang2 tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan nama Lie Mei.
             Tiba2 sebuah bingkisan kecil jatuh dari tangan Lie Mei. Siu Lan mengambil bungkusan kecil itu dan membuka isinya. Isinya sebuah biskuit kecil yg dibungkus kertas usang dan tulisan kecil yang ada dikertas adalah tulisan Lie Mei yang berantakan tapi masih dapat dibaca,
             “Mama pasti lupa, ini hari istimewa bagi mama, aku membelikan biskuit kecil ini untuk hadiah, uangku tidak cukup untuk membeli biskuit yang besar… Mama selamat ulang tahun“.

KISAH NYATA ini dimuat di harian Xia Wen Pao-Cina, thn 2007.


Analisa 3 :
Nilai yang kami dapat dari artikel ini adalah nilai yang mendarah daging dan nilai keindahan. Nilai yang mendarah daging karena adanya kepribadian yang dilakukan secara tidak sadar seperti saat ibunya melakukan semua itu. Sedangkan, nilai keindahan adalah nilai berupa perasaan cinta yang diberikan oleh Lie Mei kepada Siu Lan yang sangat besar tetapi semua sudah terlambat untuk Siu Lan karena Lie Mei telah terkujur kaku seketika ia pulang.

Artikel 4 : “Saya Mau Pinjam Uang 20rb, Bolehkah?”

              Entah siapa yang memberitahunya alamat saya, ia tiba-tiba sudah berdiri di hadapan saya. Seorang sahabat lama yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah bertemu, perawakannya tidak ada yang berubah mulai dari cara bersisirnya hingga cara berpakaiannya.
             Bahkan jika saya tidak salah ingat, pakaian yang dikenakannya saat itu adalah pakaian sehari-hari yang saya lihat sepuluh tahun yang lalu. ia bersepatu, tetapi saya tak sanggup menatap lama-lama sepatunya itu, hanya karena khawatir ia tersinggung jika saya menatapnya lama. Sebuah tas gemblok lusuh menempel di punggungnya, selusuh celana panjang yang warna hitamnya sudah memudar.
             Sebut saja Mino, ia langsung membuka tangannya berharap saya memeluknya sama hangatnya seperti dulu setiap kali kami bertemu. Tentu saja saya menyambut haru tangan terbukanya itu, kami pun berpelukan hangat dan cukup lama.
             Aroma matahari cukup menyengat dari tubuhnya tak membuat saya ingin melepaskannya, semerbak kerinduan diantara kami telah mengalahkan segalanya. Mino, lelaki seusia saya itu bergetar hebat meski hanya beberapa menit kami berpelukan, saya merasa ada tetesan air di pundak saya. “Sudah jadi orang hebat sahabatku ini rupanya…” bibirnya bergetar.
             Setelah berbicara sedikit tentang perjalanan masa lalu, saya agak iseng menanyakan keluarganya. Mino langsung tertegun, membuat saya merasa bersalah melepaskan pertanyaan itu. Bibirnya seperti hendak bergerak mengatakan sesuatu, tetapi yang terdengar hanya gumaman yang tak jelas. “Maaf jika saya menyinggung perasaanmu…” kalimat saya dipotong cepat, “Ooh tidak, tidak apa-apa…”
             Beberapa detik kemudian saya mampu membaca pikirannya, “Apa yang bisa saya bantu No?” Wajahnya sumringah mendadak, senyum yang sudah lama tak pernah saya lihat, yang saya lihat terakhir kali sepuluh tahun lalu itu. Sambil menepuk pundak saya ia pun berseloroh, “Orang sukses seperti kamu pasti bisa membantu saya untuk keluar dari persoalan kehidupan ini…”
             Saya mendengarkan kisahnya, tentang usaha reparasi komputernya yang bangkrut sehingga ia menjalani hari-hari tanpa penghasilan sepanjang hampir tiga tahun. Tentang hidupnya yang terus nomaden karena tak sanggup membayar biaya kontrakan, kontrakan terakhirnya yang ia tempati saat ini pun sudah menunggak tiga bulan dan diberi ultimatum satu bulan lagi untuk segera melunasinya. Belum lagi soal biaya masuk sekolah untuk anaknya yang sama sekali tak ia sanggupi.
             Dalam benak saya, “Mungkin ia akan meminjam atau meminta bantuan sejumlah uang yang cukup besar”. Kadang saya berlaku sok pahlawan, ingin membantu seseorang walaupun kondisi sering tidak memungkinkan untuk membantu maksimal. Namun rupanya dugaan saya salah, Mino hanya meminta sedikit dari yang saya kira, itupun meminjam. “Saya mau pinjam uang dua puluh ribu, bolehkah?” tanyanya hati-hati, mungkin ia khawatir saya tak bisa meminjaminya.
             Saya tersenyum, dua puluh ribu tentu saja bukan lagi pinjaman. Dalam kebiasaan saya, yang namanya pinjaman itu nilainya bisa sampai jutaan. “Begini No, kalau dua puluh ribu saya tidak mau meminjamkannya, tapi saya akan memberikannya kepadamu… ikhl…” saya batalkan menyebut kata ini. Bahkan saya memberi lebih dari yang dimintanya, meski kemudian Mino bilang bahwa yang saya berikan itu statusnya tetap pinjaman. Saya bilang, “itu pemberian” dia bilang, “ini pinjaman”, saya menyudahi perdebatan soal status itu dengan menyerah pada kegigihannya untuk tetap “meminjam”, bukan “meminta”.
             Dua bulan sudah saya tak mendengar kabar darinya. Entah apa yang bisa dilakukannya dengan uang yang tak seberapa itu. Hingga beberapa hari lalu, saya mendapat pesan singkat dari seseorang, “Saya ingin kembalikan lima puluh ribu yang saya pinjam tempo hari”. Saya bingung siapa yang mengirim pesan singkat tersebut karena namanya tidak tertera, setelah saya tanya siapa yang mengirimnya, terkirim lagi satu pesan singkat, “Ini Mino, maaf tidak bisa balas sms lagi soalnya pakai hape teman”.
             Saya putuskan untuk menelepon langsung nomor tersebut dan berbicara dengannya. Saya sudah katakan bahwa uang itu bukan pinjaman, tetapi hadiah. Namun ia tetap bersikeras ingin mengembalikannya. Cerita ia, hari itu juga setelah mendapat uang dari saya ia langsung membeli satu dus air mineral untuk dijual satuan. Habis satu dus, ia membeli lagi, dijual lagi dan begitu seterusnya.
             Sehingga satu bulan kemudian ia punya sedikit uang untuk dijadikan modal berdagang ala kadarnya. Tidak hanya itu, ia pun terselamatkan dari usiran pemilik kontrakan karena mulai bisa menyicil biaya kontrakan yang tertunggak. “Alhamdulillaah, saya masih punya sahabat yang memerhatikan…” ujarnya dari seberang telepon.
             Ingin sekali saya bertemu lagi dengan sahabat saya itu, kali ini saya akan memeluknya lebih lama dan lebih erat meski saya tahu aroma mataharinya lebih menyengat dari yang saya reguk sekitar dua bulan lalu. Hati ini jelas berbunga-bunga, ada haru yang terus menyelimuti dinding-dinding jiwa ini selepas pembicaraan di telepon itu.
             Masih terngiang di telinga saya ketika ia hanya ingin meminjam dua puluh ribu rupiah, jauh dari dugaan saya sebelumnya. Namun dua puluh ribu yang ingin ia pinjam itu adalah sebuah nilai kehidupan bagi seorang Mino.
             Dua puluh ribu rupiah, bagi sebagian kita hanyalah senilai sebungkus nasi di warung padang saat makan siang. Tetapi bagi orang seperti Mino adalah kehidupan panjang bagi ia, isteri dan dua anaknya. Dua puluh ribu bagi sebagian kita tidak cukup untuk uang jajan sehari anak-anak kita, namun bagi Mino berarti senyum panjang isteri dan anak-anaknya.
             Dua puluh ribu rupiah yang bagi sebagian kita sering dianggap recehan, namun bagi seorang Mino adalah nilai kehidupannya yang sangat berarti.

Analisa 4 :
                Dari artikel diatas,dikatakan penulis bertemu dengan Mino, sahabat lamanya yang tiba-tiba datang ke rumahnya. Penulis berpikir kalau Mino akan meminjam duit dalam jumlah besar tetapi Mino malah meminta bantuan yang berupa pinjaman hanya sebesar dua puluh ribu rupiah, tentu saja si penulis kaget dan mau memberikan dua puluh ribu itu secara cuma-cuma. Tetapi Mino tetap menolaknya, ia hanya ingin meminjam uang dua puluh ribu bukannya diberikan kepada dia.
             Yang membuat artikel ini berkesan bukanlah Mino yang menolak diberikan uang atau pinjaman, tetapi betapa bernilainya uang dua puluh ribu itu bagi dia. Setiap orang memiliki nilai kehidupan yang berbeda-beda. Seperti halnya bagi Mino, uang dua puluh ribu sangatlah besar. Bahkan seperti artikel diatas, dua puluh ribu bagi dia sangatlah cukup untuk menghidupi anak dan istrinya. Bandingkan dengan dua puluh ribu di mata kita, mungkin untuk membeli makanan di kantin saja tidak cukup, bukan?
             Dari nilai-nilai kehidupan yang dapat kita petik dari Mino adalah nilai ekonomi  dan material. Nilai material karena uang dua puluh ribu itu sangatlah berharga bagi kehidupan dan kebutuhan jasmani Mino. Betapa dia menghargai nilai dari uang dua puluh ribu itu dan kegigihannya dengan tidak mengemis kepada temannya melainkan hanya meminjam walaupun itu hanya uang dua puluh ribu. Kita dapat mulai menghargai nilai-nilai di sekitar kita dan bersyukur akan itu.

Artikel 5 : Kisah Inspiratif Jackie Chan


             Hingga hari ini, Jackie Chan tidak hanya sekedar superstar kungfu, namun dia juga seorang bintang dalam bidang kemanusiaan. Pernah ada yang bertanya pada Jackie Chan, “Selebritis melakukan kegiatan kemanusiaan apa bukan demi tebar pesona, apakah ada kebohongan (di baliknya)?” Pertanyaan yang sangat menusuk, Jackie Chan pun menjawabnya dengan lugas, “Ada kebohongan! Saya memulainya dari kebohongan.” Sebuah kejujuran yang mencengangkan setiap orang.
             Ketika baru mulai memasuki dunia perfilman, Jackie adalah pemeran pengganti dalam film laga kungfu. Resik o tinggi tapi honor kecil, pekerjaan yang tak berarti di mata orang lain. Tiba-tiba ia menjadi populer dalam sekejap, honornya dari semula 3 ribu yuan meningkat drastis menjadi 4,8 juta yuan. “Menjadi hartawan dalam semalam,” tutur Jackie. Kebahagiaan itu datang begitu cepat, waktu itu dia baru berumur 20-an tahun.
             Asalnya miskin dan papa, tiba-tiba memiliki banyak uang, dia tak tahu bagaimana harus menggunakannya. Dia sekaligus membeli 7 arloji kelas dunia dengan merk berbeda. Satu minggu ada 7 hari, jadi setiap hari ganti arloji. Kemudian dia tiap hari mengundang teman-temannya untuk berpesta dan bernyanyi bersama, berusaha menunjukkan pada semua orang bahwa dia sekarang kaya raya.
             Seiring dengan popularitasnya yang makin meningkat, ada yang mengundangnya ikut berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan. Jackie berkata, “Saya tidak ikut, tidak ada waktu.” Memang benar dia tidak punya waktu, siang harus syuting film, malam hari minum bir dan disko. Dia sibuknya bukan main, tiada waktu untuk urusan lain. Orang itu berkata, “Kami telah atur semuanya, Anda tidak perlu melakukan apa-apa, cukup datang saja. Itu pun cuma 1 hari. Lagi pula hal ini akan sangat membantu image dan film Anda.” Akhirnya Jackie setuju, meski dengan terpaksa. Kegiatan hari itu adalah mengunjungi panti asuhan anak cacat. Melihat Jackie Chan muncul di hadapan mereka, anak-anak cacat itu senang sekali, mereka menyebut namanya keras-keras.
             Asisten memberitahu anak-anak itu, “Chen Lung Dage (Big Brother Jackie Chan) sangat sibuk, tetapi setiap harinya selalu merindukan kalian. Dia kemarin malam tidak tidur, hari ini menyempatkan diri menjenguk kalian.” Pujian begitu tinggi yang diberikan kepadanya membuat Jackie merasa serba salah. Dia sebenarnya tidak ingin datang, kemarin malam tidak tidur karena begadang di diskotek.
             “Chen Lung Dage juga membawakan hadiah bagi kalian.” Anak-anak itu sontak bersorak-sorai dan meloncat-loncat kegirangan. Sebaliknya, Jackie justru merasa bagai orang linglung. Semua itu sudah diatur oleh pihak penyelenggara, sama sekali tidak pernah terpikir olehnya untuk membawa hadiah, bahkan dia juga tidak tahu isi kotak-kotak hadiah itu. Setiap anak mendapat hadiah, lalu satu per satu mengucapkan ‘terima kasih’ kepadanya. Melihat wajah-wajah mungil dan polos yang tertawa bahagia, dia tiba-tiba merasa malu, tetapi tak ada tempat baginya untuk bersembunyi. Dia jelas-jelas telah membohongi anak-anak itu, tapi yang didapatkannya adalah balasan yang begitu tulus. Dia tidak berani mengutarakan perasaannya itu, yang bisa dilakukannya hanyalah meneruskan permainan sandiwara tersebut. Dia menerima ucapan terima kasih anak-anak itu dengan berpura-pura semuanya biasa-biasa saja.
             “Bisa Anda bayangkan, saya waktu itu begitu jahatnya!” demikian Jackie Chan menganalisa dirinya sendiri beberapa tahun kemudian. Waktu itu, saat berpisah, seorang anak menarik tangannya dan bertanya, “Chen Lung Dage, tahun depan datang lagi, kan?” Jackie menjawab, “Saya akan datang.” Tahun berikutnya, dia membawa hadiah yang telah dipersiapkan dengan saksama, datang sesuai janjinya, utang batinnya selama setahun akhirnya terbayar juga. Ada yang pertama kali, maka akan ada yang kedua kali. Demikianlah Jackie Chan kemudian menapaki jalan aksi kemanusiaan. Setiap kali dia memperoleh pengalaman-pengalaman baru.
             Ketika untuk pertama kalinya ikut dalam aksi sosial yang sebenarnya tidak ingin dihadirinya, dia mengira kegiatan tersebut adalah ajang tebar pesona yang akan berakhir dengan cepat, namun ternyata malah menjadi bidang yang digelutinya seumur hidup. Peristiwa ini, kalau tidak diutarakannya, selamanya tidak akan ada yang tahu. Begitu diutarakan, rasa hormat dan kagum kita terhadapnya semakin bertambah.
             Ada kalanya orang tersesat ke jalan yang salah, namun ada juga yang tersesat ke jalan kebajikan. Melakukan satu perbuatan bajik, tidak selalu harus didorong oleh keinginan yang luhur, meski itu hanya ajang tebar pesona tapi juga adalah tebar pesona kebajikan. Setiap usaha yang mulia selalu diawali dari sesuatu yang tak berarti, namun asal Anda melakukannya maka itu jauh lebih mulia dibanding para penonton yang berucap sinis tapi tak berbuat apa-apa.
             Jackie Chan berkata, “Selama saya melakukan aksi kemanusiaan, beberapa orang pelan-pelan juga mengajari saya bagaimana harus berlaku yang benar.” Orang baik bukanlah orang suci, namun ia juga ingin selalu mengembangkan diri, ia butuh proses untuk menyempurnakan diri. Selalu bermurah hati dan memberikan dorongan bagi mereka (para orang baik yang bukan orang suci), kurangi celaan, dengan demikian orang baik itu makin lama akan makin baik dan banyak. Memberikan kesempatan pada orang lain untuk menjadi orang baik, sebetulnya adalah suatu perbuatan yang memiliki jasa tak terhingga.

Analisa 5 :
Nilai-nilai yang kami dapatkan dari kisah Jackie Chan adalah nilai solidaritas dan nilai sosial. Semua orang pada hakikatnya adalah orang baik, orang jahat bukan jahat melainkan orang tersebut belum mendapat kesempatan untuk merasakan berbuat kebaikan dan memberi perubahan pada kehidupan orang banyak. Jackie Chan dulunya bukanlah orang dermawan, melainkan karena paksaan dia menjadi berubah karena adanya dorongan nilai-nilai dalam hidupnya. Ia merasa harus lebih memberi lagi kepada orang yang membutuhkan, karena anak-anak cacat itu sangat bahagia saat dikunjungi Jackie Chan dan nilai dalam kehidupan anak-anak ini lebih berwarna. Begitu juga hidup Jackie Chan akan lebih bernilai karena perbuatannya terhadap anak-anak yang memberi nilai positif bagi kehidupannya.


Daftar Pustaka
 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ETOS KERJA

Masyarakat Yunani: Plato membagi kelas dlm negara mengikuti struktur jiwa. Ada tiga kelas: penasehat, pembantu penasehat/militer, dan p...