Artikel 1 : Bai Fang Li, Tukang Becak Penyumbang Ratusan Juta untuk Yatim Piatu
Tak perlu
menggembar-gemborkan sudah berapa banyak kita menyumbang orang karena mungkin
belum sepadan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bai Fang Li. Kebanyakan dari
kita menyumbang kalau sudah kelebihan uang. Jika hidup pas-pasan keinginan
menyumbang hampir tak ada.
Ia hampir tak
pernah beli makanan karena makanan yang ia makan lebih banyak didapatkan dengan
cara memulung. Begitupun pakaiannya. Apakah hasil membecaknya tak cukup untuk
membeli makanan dan pakaian?
Pendapatannya
cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup lebih layak. Namun ia lebih
memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk menyumbang yayasan yatim
piatu yang mengasuh 300-an anak tak mampu.
Kejadian yang Mulai Merubah Pandangan
Hidupnya
Namun yang
membuat Bai Fang Li heran, si anak memungut makanan di tempat sampah untuk
makannya. Padahal ia bisa membeli makanan layak untuk mengisi perutnya. Ketika
ditanya, ternyata si anak tak mau mengganggu uang hasil jerih payahnya itu
untuk membeli makan.
Ia gunakan
uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4 tahun di gubuk di mana
mereka tinggal. Mereka hidup bertiga sebagai pemulung dan orangtuanya entah di
mana. Bai Fang Li yang berkesempatan mengantar anak itu ke tempat tinggalnya
tersentuh. Setelah itu ia membawa ketiga anak itu ke yayasan yatim piatu di
mana di sana ada ratusan anak yang diasuh. Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara
si anak, tak menggunakan uang hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan
sehari-hari melainkan disumbangkan untuk yayasan yatim piatu tersebut.
Bai Fang Li
memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa
dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan
manfaat dari uang sumbangannya.
Pada tahun
2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih. Ia
bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak
karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak
500 yuan atau setara dengan Rp 675.000.
Dengan uang sumbangan terakhir itu, total
ia sudah menyumbang 350.000 yuan atau setara dengan Rp 472,5 juta. Anaknya, Bai
Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya menyumbang ke yayasan tersebut.
Tahun 2005, Bai Fang Li meninggal setelah terserang sakit kanker paru-paru. Melihat
semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang luar biasa.
Ia hidup tanpa
pamrih dengan menolong anak-anak yang tak beruntung. Meski hidup dari mengayuh
becak (jika diukur jarak mengayuh becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi),
ia punya kepedulian yang sangat tinggi kepada nasib orang lain yang lebih kurang
beruntung dari dirinya.
Analisa 1 :
Nilai-nilai
kehidupan yang kami tangkap dari artikel di atas adalah nilai sosial
,ekonomi,solidaritas, dan moral. Nilai sosial karena Bai Fang Li membantu
sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Disebut nilai ekonomi karena adanya nilai
jumlah uang yang diberikan oleh dia kepada yatim piatu dan membantu yatim piatu
dalam segi ekonomi. Kalau nilai moral karena adanya kebaikan yang dilakukan Bai
Fang Li yang membuat orang menilai segi positif nya dari bantuan yang diberikan
dia kepada yatim piatu. Dan yang terakhir solidaritas karena adanya rasa
solider dan nilai yang mendasari perbuatan orang terhadap orang lain tanpa
menghiraukan akibat yang akan diterima dirinya sendiri .
Artikel 2 : Sopir Taksi Singapura Kembalikan Uang Rp 8,6 Miliar yang Tertinggal
Sumber | yahoo
news 20 nov 2012
Seorang sopir taksi Singapura
dipuji sebagai pahlawan setelah ia mengembalikan uang senilai 1,1 juta dolar
Singapura (sekitar Rp8,6 miliar) dalam bentuk tunai kepada pasangan Thailand
yang sedang berlibur dan meninggalkan uang dalam taksinya.
Sia Ka Tian (70) terkejut menemukan
uang dalam kantong kertas hitam di kursi belakang pada Senin setelah ia
menurunkan pasangan tersebut di sebuah pusat perbelanjaan. “Ketika saya melihat
uang itu, saya pikir, ada masalah di sini. Saya yakin ada setidaknya 200.000
dolar (sekitar Rp1,5 miliar) dalam tas ini,” ungkap supir taksi senior yang
sudah mengabdi 31 tahun itu yang dikutip Straits Times.
Namun ketika ia membawa uang itu ke
kantor perusahaan transportasi ComfortDelGro, rekannya yang merasa kaget
menghitung bahwa jumlahnya sebesar 1,1 juta dolar Singapura (sekitar Rp8,6
miliar) dalam lembaran ribuan dolar. “Uang itu tidak penting bagi saya. Itu
bukan milik saya, jadi bagaimana saya bisa menggunakannya?,” katanya kepada
surat kabar tersebut.
Pasangan Thailand tersebut
melaporkan kehilangan kepada perusahaan transportasi itu dan Sia menunggu
mereka ketika mereka datang untuk mengambil uang tersebut. Dia menerima hadiah
uang tunai dengan jumlah yang dirahasiakan dari pasangan tersebut, yang tidak
disebutkan namanya, dan pihak perusahaan juga berencana untuk memberikannya
sebuah penghargaan atas layanan kinerjanya yang bagus.
“Menemukan satu juta dolar dalam
bentuk tunai bukanlah kejadian sehari-hari dan pada kenyataannya, kami yakin
banyak orang akan tergoda” untuk mengambil uang itu, ujar juru bicara
perusahaan tersebut. Tammy Tan kepada AFP. “Kami sangat bangga kepadanya dan
merasa senang penumpang kami menemukan uangnya.” Itu merupakan benda paling berharga
yang pernah dikembalikan oleh sopir taksi perusahaan tersebut.
Analisa 2 :
Nilai yang terkandung dari artikel di
atas adalah nilai moral,ekonomi, sosial, agama, solidaritas, logika,dan
kebenaran. Betapa luar biasanya apa yang telah diperbuat oleh sopir taksi ini,
sehingga menghasilkan begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa kita ambil.
Karena artikel sebelum-nya telah menerapkan nilai moral, ekonomi, sosial, dan
solidaritas, sekarang kami akan menjelaskan nilai-nilai lain yang bisa kita
petik. Nilai agama karena adanya pikiran akan baik buruknya perbuatan yang
dilakukannya sehingga ia melakukan perbuatan yang berlainan dengan dosa yaitu
mengembalikan uang tersebut. Nilai logika karena penilaian sopir tersebut
terhadap baik atau buruknya perbuatan yang harus ia perbuat. Nilai kebenaran
karena ia telah memilih untuk mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya
bahkan ia mendapat penghargaan karena itu.
Artikel 3 : Kisah Cinta Seorang Anak terhadap Ibunya
Pada suatu musim dingin saat
selesai bikin kue, Siu Lan melihat keranjang kuenya sudah rusak dan Siu Lan
berpesan pada Lie Mei untuk nunggu dirumah karena ia akan membeli keranjang
baru.
Saat pulang Siu Lan tidak menemukan
Lie Mei dirumah. Siu Lan langsung sangat marah. Putrinya benar-benar tidak tau
diri, hidup susah tapi masih juga pergi main-main, padahal tadi sudah dipesan
agar menunggu rumah. Akhirnya Siu Lan pergi sendiri menjual kue dan sebagai
hukuman pintu rumahnya dikunci dari luar agar Lie Mei tidak dapat masuk.
Putrinya mesti diberi pelajaran, pikirnya geram.
Sepulang dari jual kue Siu Lan
menemukan Lie Mei, gadis kecil itu tergeletak didepan pintu. Siu Lan berlari
memeluk Lie Mei yang membeku dan sudah tidak bernyawa. Jeritan Siu Lan memecah
kebekuan salju saat itu. Ia menangis meraung2, tetapi Lie Mei tetap tidak
bergerak. Dengan segera Siu Lan membopong Lie Mei masuk kerumah. Siu Lan
mengguncang2 tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan nama Lie Mei.
Tiba2 sebuah bingkisan kecil jatuh
dari tangan Lie Mei. Siu Lan mengambil bungkusan kecil itu dan membuka isinya.
Isinya sebuah biskuit kecil yg dibungkus kertas usang dan tulisan kecil yang
ada dikertas adalah tulisan Lie Mei yang berantakan tapi masih dapat dibaca,
“Mama pasti lupa, ini hari istimewa
bagi mama, aku membelikan biskuit kecil ini untuk hadiah, uangku tidak cukup
untuk membeli biskuit yang besar… Mama selamat ulang tahun“.
KISAH
NYATA ini dimuat di harian Xia Wen Pao-Cina, thn 2007.
Analisa 3 :
Nilai
yang kami dapat dari artikel ini adalah nilai yang mendarah daging dan nilai
keindahan. Nilai yang mendarah daging karena adanya kepribadian yang dilakukan
secara tidak sadar seperti saat ibunya melakukan semua itu. Sedangkan, nilai
keindahan adalah nilai berupa perasaan cinta yang diberikan oleh Lie Mei kepada
Siu Lan yang sangat besar tetapi semua sudah terlambat untuk Siu Lan karena Lie
Mei telah terkujur kaku seketika ia pulang.
Artikel 4 : “Saya Mau Pinjam Uang 20rb, Bolehkah?”
Entah siapa yang memberitahunya
alamat saya, ia tiba-tiba sudah berdiri di hadapan saya. Seorang sahabat lama
yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah bertemu, perawakannya tidak ada
yang berubah mulai dari cara bersisirnya hingga cara berpakaiannya.
Bahkan jika saya tidak salah ingat,
pakaian yang dikenakannya saat itu adalah pakaian sehari-hari yang saya lihat
sepuluh tahun yang lalu. ia bersepatu, tetapi saya tak sanggup menatap
lama-lama sepatunya itu, hanya karena khawatir ia tersinggung jika saya
menatapnya lama. Sebuah tas gemblok lusuh menempel di punggungnya, selusuh
celana panjang yang warna hitamnya sudah memudar.
Sebut saja Mino, ia langsung
membuka tangannya berharap saya memeluknya sama hangatnya seperti dulu setiap
kali kami bertemu. Tentu saja saya menyambut haru tangan terbukanya itu, kami
pun berpelukan hangat dan cukup lama.
Aroma matahari cukup menyengat dari
tubuhnya tak membuat saya ingin melepaskannya, semerbak kerinduan diantara kami
telah mengalahkan segalanya. Mino, lelaki seusia saya itu bergetar hebat meski
hanya beberapa menit kami berpelukan, saya merasa ada tetesan air di pundak
saya. “Sudah jadi orang hebat sahabatku ini rupanya…” bibirnya bergetar.
Setelah berbicara sedikit tentang
perjalanan masa lalu, saya agak iseng menanyakan keluarganya. Mino langsung
tertegun, membuat saya merasa bersalah melepaskan pertanyaan itu. Bibirnya
seperti hendak bergerak mengatakan sesuatu, tetapi yang terdengar hanya gumaman
yang tak jelas. “Maaf jika saya menyinggung perasaanmu…” kalimat saya dipotong
cepat, “Ooh tidak, tidak apa-apa…”
Beberapa detik kemudian saya mampu
membaca pikirannya, “Apa yang bisa saya bantu No?” Wajahnya sumringah mendadak,
senyum yang sudah lama tak pernah saya lihat, yang saya lihat terakhir kali
sepuluh tahun lalu itu. Sambil menepuk pundak saya ia pun berseloroh, “Orang
sukses seperti kamu pasti bisa membantu saya untuk keluar dari persoalan
kehidupan ini…”
Saya mendengarkan kisahnya, tentang
usaha reparasi komputernya yang bangkrut sehingga ia menjalani hari-hari tanpa
penghasilan sepanjang hampir tiga tahun. Tentang hidupnya yang terus nomaden
karena tak sanggup membayar biaya kontrakan, kontrakan terakhirnya yang ia
tempati saat ini pun sudah menunggak tiga bulan dan diberi ultimatum satu bulan
lagi untuk segera melunasinya. Belum lagi soal biaya masuk sekolah untuk
anaknya yang sama sekali tak ia sanggupi.
Dalam benak saya, “Mungkin ia akan
meminjam atau meminta bantuan sejumlah uang yang cukup besar”. Kadang saya
berlaku sok pahlawan, ingin membantu seseorang walaupun kondisi sering tidak
memungkinkan untuk membantu maksimal. Namun rupanya dugaan saya salah, Mino
hanya meminta sedikit dari yang saya kira, itupun meminjam. “Saya mau pinjam
uang dua puluh ribu, bolehkah?” tanyanya hati-hati, mungkin ia khawatir saya
tak bisa meminjaminya.
Saya tersenyum, dua puluh ribu
tentu saja bukan lagi pinjaman. Dalam kebiasaan saya, yang namanya pinjaman itu
nilainya bisa sampai jutaan. “Begini No, kalau dua puluh ribu saya tidak mau
meminjamkannya, tapi saya akan memberikannya kepadamu… ikhl…” saya batalkan menyebut
kata ini. Bahkan saya memberi lebih dari yang dimintanya, meski kemudian Mino
bilang bahwa yang saya berikan itu statusnya tetap pinjaman. Saya bilang, “itu
pemberian” dia bilang, “ini pinjaman”, saya menyudahi perdebatan soal status
itu dengan menyerah pada kegigihannya untuk tetap “meminjam”, bukan “meminta”.
Dua bulan sudah saya tak mendengar
kabar darinya. Entah apa yang bisa dilakukannya dengan uang yang tak seberapa
itu. Hingga beberapa hari lalu, saya mendapat pesan singkat dari seseorang,
“Saya ingin kembalikan lima puluh ribu yang saya pinjam tempo hari”. Saya
bingung siapa yang mengirim pesan singkat tersebut karena namanya tidak
tertera, setelah saya tanya siapa yang mengirimnya, terkirim lagi satu pesan
singkat, “Ini Mino, maaf tidak bisa balas sms lagi soalnya pakai hape teman”.
Saya putuskan untuk menelepon
langsung nomor tersebut dan berbicara dengannya. Saya sudah katakan bahwa uang
itu bukan pinjaman, tetapi hadiah. Namun ia tetap bersikeras ingin
mengembalikannya. Cerita ia, hari itu juga setelah mendapat uang dari saya ia
langsung membeli satu dus air mineral untuk dijual satuan. Habis satu dus, ia
membeli lagi, dijual lagi dan begitu seterusnya.
Sehingga satu bulan kemudian ia
punya sedikit uang untuk dijadikan modal berdagang ala kadarnya. Tidak hanya
itu, ia pun terselamatkan dari usiran pemilik kontrakan karena mulai bisa
menyicil biaya kontrakan yang tertunggak. “Alhamdulillaah, saya masih punya
sahabat yang memerhatikan…” ujarnya dari seberang telepon.
Ingin sekali saya bertemu lagi
dengan sahabat saya itu, kali ini saya akan memeluknya lebih lama dan lebih
erat meski saya tahu aroma mataharinya lebih menyengat dari yang saya reguk
sekitar dua bulan lalu. Hati ini jelas berbunga-bunga, ada haru yang terus
menyelimuti dinding-dinding jiwa ini selepas pembicaraan di telepon itu.
Masih terngiang di telinga saya
ketika ia hanya ingin meminjam dua puluh ribu rupiah, jauh dari dugaan saya
sebelumnya. Namun dua puluh ribu yang ingin ia pinjam itu adalah sebuah nilai
kehidupan bagi seorang Mino.
Dua puluh ribu rupiah, bagi
sebagian kita hanyalah senilai sebungkus nasi di warung padang saat makan
siang. Tetapi bagi orang seperti Mino adalah kehidupan panjang bagi ia, isteri
dan dua anaknya. Dua puluh ribu bagi sebagian kita tidak cukup untuk uang jajan
sehari anak-anak kita, namun bagi Mino berarti senyum panjang isteri dan
anak-anaknya.
Dua puluh ribu rupiah yang bagi
sebagian kita sering dianggap recehan, namun bagi seorang Mino adalah nilai
kehidupannya yang sangat berarti.
Analisa 4 :
Dari
artikel diatas,dikatakan penulis bertemu dengan Mino, sahabat lamanya yang
tiba-tiba datang ke rumahnya. Penulis berpikir kalau Mino akan meminjam duit
dalam jumlah besar tetapi Mino malah meminta bantuan yang berupa pinjaman hanya
sebesar dua puluh ribu rupiah, tentu saja si penulis kaget dan mau memberikan
dua puluh ribu itu secara cuma-cuma. Tetapi Mino tetap menolaknya, ia hanya
ingin meminjam uang dua puluh ribu bukannya diberikan kepada dia.
Yang membuat artikel ini berkesan
bukanlah Mino yang menolak diberikan uang atau pinjaman, tetapi betapa
bernilainya uang dua puluh ribu itu bagi dia. Setiap orang memiliki nilai
kehidupan yang berbeda-beda. Seperti halnya bagi Mino, uang dua puluh ribu
sangatlah besar. Bahkan seperti artikel diatas, dua puluh ribu bagi dia
sangatlah cukup untuk menghidupi anak dan istrinya. Bandingkan dengan dua puluh
ribu di mata kita, mungkin untuk membeli makanan di kantin saja tidak cukup,
bukan?
Dari nilai-nilai kehidupan yang
dapat kita petik dari Mino adalah nilai ekonomi
dan material. Nilai material karena uang dua puluh ribu itu sangatlah
berharga bagi kehidupan dan kebutuhan jasmani Mino. Betapa dia menghargai nilai
dari uang dua puluh ribu itu dan kegigihannya dengan tidak mengemis kepada
temannya melainkan hanya meminjam walaupun itu hanya uang dua puluh ribu. Kita
dapat mulai menghargai nilai-nilai di sekitar kita dan bersyukur akan itu.
Artikel 5 : Kisah Inspiratif Jackie Chan
Ketika baru mulai memasuki dunia
perfilman, Jackie adalah pemeran pengganti dalam film laga kungfu. Resik o tinggi tapi honor kecil, pekerjaan yang tak
berarti di mata orang lain. Tiba-tiba ia menjadi populer dalam sekejap,
honornya dari semula 3 ribu yuan meningkat drastis menjadi 4,8 juta yuan.
“Menjadi hartawan dalam semalam,” tutur Jackie. Kebahagiaan itu datang begitu
cepat, waktu itu dia baru berumur 20-an tahun.
Asalnya miskin dan papa, tiba-tiba
memiliki banyak uang, dia tak tahu bagaimana harus menggunakannya. Dia
sekaligus membeli 7 arloji kelas dunia dengan merk berbeda. Satu minggu ada 7
hari, jadi setiap hari ganti arloji. Kemudian dia tiap hari mengundang
teman-temannya untuk berpesta dan bernyanyi bersama, berusaha menunjukkan pada
semua orang bahwa dia sekarang kaya raya.
Seiring dengan popularitasnya yang
makin meningkat, ada yang mengundangnya ikut berpartisipasi dalam kegiatan
kemanusiaan. Jackie berkata, “Saya tidak ikut, tidak ada waktu.” Memang benar
dia tidak punya waktu, siang harus syuting film, malam hari minum bir dan
disko. Dia sibuknya bukan main, tiada waktu untuk urusan lain. Orang itu
berkata, “Kami telah atur semuanya, Anda tidak perlu melakukan apa-apa, cukup
datang saja. Itu pun cuma 1 hari. Lagi pula hal ini akan sangat membantu image
dan film Anda.” Akhirnya Jackie setuju, meski dengan terpaksa. Kegiatan hari
itu adalah mengunjungi panti asuhan anak cacat. Melihat Jackie Chan muncul di
hadapan mereka, anak-anak cacat itu senang sekali, mereka menyebut namanya
keras-keras.
Asisten memberitahu anak-anak itu,
“Chen Lung Dage (Big Brother Jackie Chan) sangat sibuk, tetapi setiap harinya
selalu merindukan kalian. Dia kemarin malam tidak tidur, hari ini menyempatkan
diri menjenguk kalian.” Pujian begitu tinggi yang diberikan kepadanya membuat
Jackie merasa serba salah. Dia sebenarnya tidak ingin datang, kemarin malam
tidak tidur karena begadang di diskotek.
“Chen Lung Dage juga membawakan
hadiah bagi kalian.” Anak-anak itu sontak bersorak-sorai dan meloncat-loncat
kegirangan. Sebaliknya, Jackie justru merasa bagai orang linglung. Semua itu
sudah diatur oleh pihak penyelenggara, sama sekali tidak pernah terpikir
olehnya untuk membawa hadiah, bahkan dia juga tidak tahu isi kotak-kotak hadiah
itu. Setiap anak mendapat hadiah, lalu satu per satu mengucapkan ‘terima kasih’
kepadanya. Melihat wajah-wajah mungil dan polos yang tertawa bahagia, dia
tiba-tiba merasa malu, tetapi tak ada tempat baginya untuk bersembunyi. Dia
jelas-jelas telah membohongi anak-anak itu, tapi yang didapatkannya adalah
balasan yang begitu tulus. Dia tidak berani mengutarakan perasaannya itu, yang
bisa dilakukannya hanyalah meneruskan permainan sandiwara tersebut. Dia
menerima ucapan terima kasih anak-anak itu dengan berpura-pura semuanya biasa-biasa
saja.
“Bisa Anda bayangkan, saya waktu
itu begitu jahatnya!” demikian Jackie Chan menganalisa dirinya sendiri beberapa
tahun kemudian. Waktu itu, saat berpisah, seorang anak menarik tangannya dan
bertanya, “Chen Lung Dage, tahun depan datang lagi, kan?” Jackie menjawab,
“Saya akan datang.” Tahun berikutnya, dia membawa hadiah yang telah
dipersiapkan dengan saksama, datang sesuai janjinya, utang batinnya selama setahun
akhirnya terbayar juga. Ada yang pertama kali, maka akan ada yang kedua kali. Demikianlah
Jackie Chan kemudian menapaki jalan aksi kemanusiaan. Setiap kali dia memperoleh
pengalaman-pengalaman baru.
Ketika untuk pertama kalinya ikut
dalam aksi sosial yang sebenarnya tidak ingin dihadirinya, dia mengira kegiatan
tersebut adalah ajang tebar pesona yang akan berakhir dengan cepat, namun
ternyata malah menjadi bidang yang digelutinya seumur hidup. Peristiwa ini,
kalau tidak diutarakannya, selamanya tidak akan ada yang tahu. Begitu
diutarakan, rasa hormat dan kagum kita terhadapnya semakin bertambah.
Ada kalanya orang tersesat ke jalan
yang salah, namun ada juga yang tersesat ke jalan kebajikan. Melakukan satu
perbuatan bajik, tidak selalu harus didorong oleh keinginan yang luhur, meski
itu hanya ajang tebar pesona tapi juga adalah tebar pesona kebajikan. Setiap
usaha yang mulia selalu diawali dari sesuatu yang tak berarti, namun asal Anda
melakukannya maka itu jauh lebih mulia dibanding para penonton yang berucap
sinis tapi tak berbuat apa-apa.
Jackie Chan berkata, “Selama saya
melakukan aksi kemanusiaan, beberapa orang pelan-pelan juga mengajari saya
bagaimana harus berlaku yang benar.” Orang baik bukanlah orang suci, namun ia
juga ingin selalu mengembangkan diri, ia butuh proses untuk menyempurnakan
diri. Selalu bermurah hati dan memberikan dorongan bagi mereka (para orang baik
yang bukan orang suci), kurangi celaan, dengan demikian orang baik itu makin
lama akan makin baik dan banyak. Memberikan kesempatan pada orang lain untuk
menjadi orang baik, sebetulnya adalah suatu perbuatan yang memiliki jasa tak
terhingga.
Analisa 5 :
Nilai-nilai yang kami dapatkan
dari kisah Jackie Chan adalah nilai solidaritas dan nilai sosial. Semua orang
pada hakikatnya adalah orang baik, orang jahat bukan jahat melainkan orang
tersebut belum mendapat kesempatan untuk merasakan berbuat kebaikan dan memberi
perubahan pada kehidupan orang banyak. Jackie Chan dulunya bukanlah orang
dermawan, melainkan karena paksaan dia menjadi berubah karena adanya dorongan
nilai-nilai dalam hidupnya. Ia merasa harus lebih memberi lagi kepada orang
yang membutuhkan, karena anak-anak cacat itu sangat bahagia saat dikunjungi
Jackie Chan dan nilai dalam kehidupan anak-anak ini lebih berwarna. Begitu juga
hidup Jackie Chan akan lebih bernilai karena perbuatannya terhadap anak-anak
yang memberi nilai positif bagi kehidupannya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar